Apa yang menjadi landasan pers Indonesia khususnya televisi
membuat program acara di stasiun tv-nya? Sebagian besar pers di Indonesia masih
memakai motif ekonomi dalam membuat program acaranya. Artinya sebagian besar
media di Indonesia masih menyesuaikan diri dengan permintaan pasar Indonesia
yang cenderung “labil”. Labil karena pasar industri pertelevisian di negara
kita ini masih didominasi oleh konsumen yang lemah dalam pendidikan. Hal ini
dapat dilihat dari berapa banyak yang harus negara kita benahi dalam peningkatan
kualitas pendidikan.
Program televisi di Indonesia lebih di dominasi oleh
sinetron, infotainment, dan hal-hal yang berbau hiburan. Seberapa sedihnya
bangsa kita, hingga rasanya hampir setiap saat kita harus disuguhi
hiburan-hiburan? Hiburan yang cenderung bersifat fiktif.
Sinetron Indonesia yang didominasi cerita remaja yang jatuh
cinta, atau keluarga kaya dengan perebutan harta dan kekuasaan, pemuda miskin
yang mendadak kaya karena saat kecil tertukar dan masih banyak lagi kisah-kisah
fiktif yang rasanya hampir mustahil terjadi di kehidupan nyata. Sinetron
seperti inilah yang setiap hari bisa kita temui hampir di semua media televisi.
Mendidik? Bagi penulis, sinetron sejenis ini hanya memberikan mimpi-mimpi di
siang bolong. Membuai masyarakat dengan mimpi bahkan bermimpi saat terjaga.
Infotainment Indonesia pun punya ciri khas yang sama yaitu
“lebay”. Bahkan sangat lebay hingga bisa menutupi berita-berita penting
lainnya. Kasus video sangat tidak pantas milik seorang vokalis group band
bahkan menutupi berita kenaikan tarif dasar listrik. Hebat sekali infotainment
Indonesia. Kasus ini bahkan masuk ke dalam liputan-liputan berita milik
jurnalis sesungguhnya. Mendidik? Penulis bahkan mempertanyakan, sisi apa yang
menjadikan berita ini penting hingga layak diberitakan berulang-ulang.
Televisi kita menjadi tidak sensitif dengan segala
permasalahan yang dihadapi oleh publik. Kepentingan publik dikalahkan oleh
berbagai kepentingan lain, seperti bagaimana dapat meningkatkan rating
setinggi-tingginya untuk dapat menjaring lebih banyak pemasangan iklan. Padahal
sudah waktunya negara kita tersadar bahwa ini adalah saatnya untuk kita
bangkit. Kebangkitan ini perlu dukungan kuat dari media massa yang pengaruhnya
sangat besar dan sangat cepat di masyarakat kita.
Saatnya media massa kita menyajikan tontonan yang dapat
menjadi tuntunan menuju kebangkitan, yang berkualitas dan mendidik, yang
memotivasi, menyemangati. Karena bangsa kita bukan pasar, bangsa kita adalah
aset. Saatnya mengubah paradigma masyarakat tentang tontonan yang diinginkan
dan menyadarkan masyarakat tentang tonntonan yang dibutuhkan. Saatnya menjadi
jurnalis yang bijak.
Oleh: Desni Utami
(Reblog from 4th Journalistic Fair)
Keep Following us: @JournalistcFair and @bemkmipb
“A good
newspaper, I suppose, is a nation talking to itself," - Arthur Miller
Tidak ada komentar:
Posting Komentar