Minggu, 25 Agustus 2013

[Reblog] Ketika Tontonan Jadi Tuntunan

Apa yang menjadi landasan pers Indonesia khususnya televisi membuat program acara di stasiun tv-nya? Sebagian besar pers di Indonesia masih memakai motif ekonomi dalam membuat program acaranya. Artinya sebagian besar media di Indonesia masih menyesuaikan diri dengan permintaan pasar Indonesia yang cenderung “labil”. Labil karena pasar industri pertelevisian di negara kita ini masih didominasi oleh konsumen yang lemah dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari berapa banyak yang harus negara kita benahi dalam peningkatan kualitas pendidikan. 

Program televisi di Indonesia lebih di dominasi oleh sinetron, infotainment, dan hal-hal yang berbau hiburan. Seberapa sedihnya bangsa kita, hingga rasanya hampir setiap saat kita harus disuguhi hiburan-hiburan? Hiburan yang cenderung bersifat fiktif.

Sinetron Indonesia yang didominasi cerita remaja yang jatuh cinta, atau keluarga kaya dengan perebutan harta dan kekuasaan, pemuda miskin yang mendadak kaya karena saat kecil tertukar dan masih banyak lagi kisah-kisah fiktif yang rasanya hampir mustahil terjadi di kehidupan nyata. Sinetron seperti inilah yang setiap hari bisa kita temui hampir di semua media televisi. Mendidik? Bagi penulis, sinetron sejenis ini hanya memberikan mimpi-mimpi di siang bolong. Membuai masyarakat dengan mimpi bahkan bermimpi saat terjaga.

Infotainment Indonesia pun punya ciri khas yang sama yaitu “lebay”. Bahkan sangat lebay hingga bisa menutupi berita-berita penting lainnya. Kasus video sangat tidak pantas milik seorang vokalis group band bahkan menutupi berita kenaikan tarif dasar listrik. Hebat sekali infotainment Indonesia. Kasus ini bahkan masuk ke dalam liputan-liputan berita milik jurnalis sesungguhnya. Mendidik? Penulis bahkan mempertanyakan, sisi apa yang menjadikan berita ini penting hingga layak diberitakan berulang-ulang.

Televisi kita menjadi tidak sensitif dengan segala permasalahan yang dihadapi oleh publik. Kepentingan publik dikalahkan oleh berbagai kepentingan lain, seperti bagaimana dapat meningkatkan rating setinggi-tingginya untuk dapat menjaring lebih banyak pemasangan iklan. Padahal sudah waktunya negara kita tersadar bahwa ini adalah saatnya untuk kita bangkit. Kebangkitan ini perlu dukungan kuat dari media massa yang pengaruhnya sangat besar dan sangat cepat di masyarakat kita. 

Saatnya media massa kita menyajikan tontonan yang dapat menjadi tuntunan menuju kebangkitan, yang berkualitas dan mendidik, yang memotivasi, menyemangati. Karena bangsa kita bukan pasar, bangsa kita adalah aset. Saatnya mengubah paradigma masyarakat tentang tontonan yang diinginkan dan menyadarkan masyarakat tentang tonntonan yang dibutuhkan. Saatnya menjadi jurnalis yang bijak.

Oleh: Desni Utami

(Reblog from 4th Journalistic Fair

Keep Following us: @JournalistcFair and @bemkmipb

“A good newspaper, I suppose, is a nation talking to itself," - Arthur Miller

Tidak ada komentar:

Posting Komentar