Selasa, 27 Agustus 2013

[Reblog] Jurnalisme Kemanusiaan Sebagai Pengatur Pola Pikir Bangsa



“Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran; dan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.

Demikian bunyi ayat 1, 2, dan 3 pada Pasal 4 Bab II Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini mencerminkan suatu sistem dimana pers memiliki kebebasan dalam menjalankan fungsinya. Yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya. Kendati demikian, kebebasan pers bukanlah sesuatu yang absolut dan dapat dilakukan secara liberal, melainkan sesuatu yang harus disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan norma etika, profesionalisme, dan supremasi hukum. (Wibowo, 2009).

Opini masyarakat dalam kesehariannya sangatlah bergantung pada sesuatu yang mencuat di media. Baik atau buruknya dapat memiliki ketergantungan terhadap aspek ‘sesuatu’ tersebut. Dalam kasus ini, peran pers dalam profesinya yakni merangkum seluruh peristiwa yang ada sangatlah besar. Contoh sederhananya, apabila masyarakat melihat atlit bulutangkis, Susi Susanti menjuarai Olimpiade Barcelona pada 1992, maka bisa dipastikan semangat nasionalisme bangsa Indonesia kala itu tengah membara karena mereka mendapati seorang putri bangsa telah mengharumkan negerinya di dunia. Tetapi, sangat jauh berbeda dampak yang ditimbulkan apabila yang terlihat adalah kalahnya timnas Indonesia oleh timnas Uruguay dalam pertandingan persahabatan dengan skor 1-7. Kekecewaan, sikap apatis, dan tidak puas kerap terjadi bagi masyarakat yang menyaksikan.

Sekelumit dunia jurnalistik Indonesia

Secara langsung atau tidak langsung pola pikir masyarakat dapat ‘diatur’ oleh fenomena-fenomena yang terjadi dan mencuat di media. Dengan kemudahan mengakses informasi, opini-opini publik dapat terbentuk begitu saja bahkan tanpa terencana oleh ‘si pembuat opini’ itu sendiri. Ini merupakan dilema bagi dunia jurnalistik Indonesia dalam perannya sebagai mediator informasi publik. Idiom bad news is good news saat ini banyak dianut oleh kebanyakan jurnalis dalam meliput peristiwa yang ada. Betapa tidak, 1.078 kasus perkara korupsi pada 2000-2004 diborong oleh berbagai media dan menyajikannya pada halaman utama. Data statistik kemiskinan yang mencapai 14,3 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia memberikan pandangan menyedihkan pada halaman depan mayoritas media cetak harian untuk menggambarkan kemerosotan ekonomi bangsa. 

Sulit mencari media yang menjadikan prestasi Indonesia sebagai headline dalam liputan periodiknya. Berita seperti Budi Soehardi yang menjadi nominasi CNN Heroes karena mengasuh 47 anak di panti asuhannya atau seperti berita Adrienne T Sulistyo dan Vici R Tedja yang meraih medali perak Olimpiade Proyek Lingkungan di Azerbaijan. Berita-berita itu kalah booming dibanding hebohnya kasus bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun yang tak kunjung usai. 

Ironi inilah yang secara tidak langsung mengerdilkan opini masyarakat Indonesia terhadap bangsanya sendiri. Banyaknya profil koruptor yang diliput di media membuat masyarakat resisten terhadap problema berbau politik dan kepemerintahan. Terbukti dari angka golput yang mencapai 34% pada Pemilu 2009 dan manjadi angka golput tertinggi sepanjang sejarah (zonapikir.wordpress.com). Atau lebih parah lagi, akibat dari sajian-sasajian sisi negatif bangsa, perlahan membuat legitimasi bahwa itu semua sah untuk dilakukan.

Mengapa bisa begini?

Jika pada masa orde baru pers kita lebih disibukkan dengan usaha menjamin eksistensi diri di tengah tekanan pemerintah yang otoriter, maka pers kita saat ini tengah disibukan dengan usaha memaknai dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya arti ‘kebebasan pers’ yang termaktub dalam UU No 40 tahun 1999 di atas. Kebebasan pers merupakan penopang dari kehidupan pers itu sendiri. Telah kita rasakan bagaimana pahitnya media yang dibungkam selama orde baru, masyarakat di-cekoki oleh asupan-asupan manipulasi fakta. 

Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata konsep kebebasan pers ini telah melenakan kita. Lukas Luwarso, mantan Direktur Eksekutif Dewan Pers menjelaskan, bahwa kebebasan pers yang sangat longgar saat ini tidak hanya menumbuhkan ratusan penerbit baru. Akan tetapi, juga menimbulkan kebebasan pers yang anarkis. Kebebasan pers telah menghadirkan secara telanjang segala keruwetan dan kekacauan. Publik bisa menjadi leluasa membaca dan menyaksikan pola tingkah figur publik. Serta, hampir tidak ada lagi rahasia atau privasi. Tabloid-tabloid yang sangat sarat berita dan foto pornografi sangat marak. Judul-judulnya pun sensasional, menakutkan dan bahkan menggemparkan (scare headline). 

Bahkan, bukan hanya pers dalam dunia jurnalistik, konsumsi publik lain  -seperti film dan iklan- pun seringkali mengutamakan substansi ‘menjual’-nya dari pada sisi manfaatnya bagi masyarakat. Dampak yang ditimbulkan dapat dilihat mulai dari lifestyle anak muda yang berubah-ubah sesuai trend yang berlaku sampai pembunuhan tidak terencana oleh anak dibawah umur terhadap temannya setelah menonton tayangan Smack Down yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi.

Jurnalisme Kemanusiaan sebagai solusinya

Jika ditelisik lebih lanjut, kebebasan pers bukanlah sesuatu yang absolut dan dapat dilakukan secara liberal, melainkan sesuatu yang harus disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakkan norma etika, profesionalisme, dan supremasi hukum. (Wibowo, 2009). Hal ini dipertegas dalam Bab II Pasal 2 undang-undang No. 40 tahun 1999: “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.

Konsep jurnalisme kemanusiaan merupakan rekomendasi terkuat atas permasalahan dan ironi diatas. Mengacu kepada pengertian kemanusiaan itu sendiri yakni, sebuah gerakan yang tujuannya adalah mempromosikan harkat, martabat, dan nilai manusia. kemanusiaan menekankan harkat, peranan, dan tanggung jawab manusia. Menurut paham kemanusiaan, manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan istimewa dan berkemampuan lebih dari makhluk-makhluk lain di dunia karena bersifat rohani. (Mangunhardjana, 1997). Maka, Jurnalisme kemanusiaan yang kiranya suitable untuk ironi ini adalah kegiatan jurnalisme yang menjunjung tinggi harkat dan peranan serta keinginan rakyat Indonesia yang ingin keluar dari segala keterpurukan dan problema yang melanda. Membantu membentuk pola pikir masyarakat dengan mencoba untuk selalu mempertimbangkan fakta yang diliput secara adil, seimbang dan memperhatikan dampak yang ditimbulkannya. 

Terlalu banyak artikel keburukan Indonesia akan menjerumuskan masyarakat pada paradigma pesimisme kolektif terhadap bangsanya sendiri. Harus diseimbangkan dengan membuat prestasi dan keunggulan bangsa menjadi main topic dalam setiap media. Memanusiakan manusia dengan mengapresiasi segala bentuk prestasi merupakan salah satu cara yang ampuh untuk dapat memancing semangat nasionalis masyarakat yang mulai memudar. Memunculkan sisi kemanusiaan dapat menjadi obat bagi golongan penderita alergi media yang menganggap isinya hanya keterpurukan bangsa belaka.

Mengutamakan berita positif bukan berarti mengada-ngada dan menutup fakta-fakta negatif yang terjadi. Bukan pula berarti memangkas berita kontroversial yang perlu dilihat publik sebagai sarana antisipasi masyarakat. Hal yang perlu diperhatikan adalah selalu memerhatikan proporsi antara keduanya, dan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan.

Kesimpulan dari premis-premis peliknya masalah indonesia dapat diambil berdasarkan fakta yang terjadi. Apakah kesimpulan itu buruk atau baik? Menginspirasi atau membuat depresi? Itu semua tergantung dari apa yang mencuat dalam ranah publik. Sesuatu yang masyarakat lihat, sesuatu yang masyarakat dengar, dan sesuatu yang masyarakat rasakan. Dan sesuatu itu menjadi tanggung jawab pers sepenuhnya. Bentuk dari tanggung jawab itu dapat diwujudkan dengan jurnalisme kemanusiaan. Memanusiakan manusia Indonesia yang ingin keluar dari konstelasi keterpurukan negeri menuju suasana penuh semangat dan optimistis Indonesia akan lebih baik lagi.

         Sumber: 4th Journalistic Fair

        “I do not agree with what you have to say, but I’ll defend to the death your right to say
it,” - Voltaire

Tidak ada komentar:

Posting Komentar