“Kemerdekaan pers dijamin sebagai
hak asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pemberedelan, atau pelarangan penyiaran; dan untuk menjamin kemerdekaan pers,
pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan
dan informasi”.
Demikian bunyi ayat 1, 2, dan 3 pada Pasal 4 Bab II Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Undang-undang ini mencerminkan suatu sistem dimana pers memiliki kebebasan
dalam menjalankan fungsinya. Yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya. Kendati
demikian, kebebasan pers bukanlah sesuatu yang absolut dan dapat dilakukan
secara liberal, melainkan sesuatu yang harus disertai dengan kesadaran akan pentingnya
penegakan norma etika, profesionalisme, dan supremasi hukum. (Wibowo, 2009).
Opini masyarakat dalam kesehariannya sangatlah bergantung
pada sesuatu yang mencuat di media. Baik atau buruknya dapat memiliki
ketergantungan terhadap aspek ‘sesuatu’ tersebut. Dalam kasus ini, peran pers
dalam profesinya yakni merangkum seluruh peristiwa yang ada sangatlah besar.
Contoh sederhananya, apabila masyarakat melihat atlit bulutangkis, Susi Susanti
menjuarai Olimpiade Barcelona pada 1992, maka bisa dipastikan semangat
nasionalisme bangsa Indonesia kala itu tengah membara karena mereka mendapati
seorang putri bangsa telah mengharumkan negerinya di dunia. Tetapi, sangat jauh
berbeda dampak yang ditimbulkan apabila yang terlihat adalah kalahnya timnas
Indonesia oleh timnas Uruguay dalam pertandingan persahabatan dengan skor 1-7.
Kekecewaan, sikap apatis, dan tidak puas kerap terjadi bagi masyarakat yang
menyaksikan.
Sekelumit dunia jurnalistik Indonesia
Secara langsung atau tidak langsung pola pikir masyarakat
dapat ‘diatur’ oleh fenomena-fenomena yang terjadi dan mencuat di media. Dengan
kemudahan mengakses informasi, opini-opini publik dapat terbentuk begitu saja
bahkan tanpa terencana oleh ‘si pembuat opini’ itu sendiri. Ini merupakan
dilema bagi dunia jurnalistik Indonesia dalam perannya sebagai mediator
informasi publik. Idiom bad news is
good news saat ini banyak dianut oleh kebanyakan jurnalis dalam meliput
peristiwa yang ada. Betapa tidak, 1.078 kasus perkara korupsi pada 2000-2004
diborong oleh berbagai media dan menyajikannya pada halaman utama. Data
statistik kemiskinan yang mencapai 14,3 persen dari keseluruhan penduduk
Indonesia memberikan pandangan menyedihkan pada halaman depan mayoritas media
cetak harian untuk menggambarkan kemerosotan ekonomi bangsa.
Sulit mencari media yang menjadikan prestasi Indonesia
sebagai headline dalam liputan
periodiknya. Berita seperti Budi Soehardi yang menjadi nominasi CNN Heroes
karena mengasuh 47 anak di panti asuhannya atau seperti berita Adrienne T
Sulistyo dan Vici R Tedja yang meraih medali perak Olimpiade Proyek Lingkungan
di Azerbaijan. Berita-berita itu kalah booming
dibanding hebohnya kasus bailout
Bank Century senilai Rp 6,7 triliun yang tak kunjung usai.
Ironi inilah yang secara tidak langsung mengerdilkan opini
masyarakat Indonesia terhadap bangsanya sendiri. Banyaknya profil koruptor yang
diliput di media membuat masyarakat resisten terhadap problema berbau politik
dan kepemerintahan. Terbukti dari angka golput yang mencapai 34% pada Pemilu
2009 dan manjadi angka golput tertinggi sepanjang sejarah
(zonapikir.wordpress.com). Atau lebih parah lagi, akibat dari sajian-sasajian
sisi negatif bangsa, perlahan membuat legitimasi bahwa itu semua sah untuk
dilakukan.
Mengapa
bisa begini?
Jika pada masa orde baru pers kita lebih disibukkan dengan
usaha menjamin eksistensi diri di tengah tekanan pemerintah yang otoriter, maka
pers kita saat ini tengah disibukan dengan usaha memaknai dan memanfaatkan
dengan sebaik-baiknya arti ‘kebebasan pers’ yang termaktub dalam UU No 40 tahun
1999 di atas. Kebebasan pers merupakan penopang dari kehidupan pers itu
sendiri. Telah kita rasakan bagaimana pahitnya media yang dibungkam selama orde
baru, masyarakat di-cekoki oleh
asupan-asupan manipulasi fakta.
Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata konsep kebebasan
pers ini telah melenakan kita. Lukas Luwarso, mantan Direktur Eksekutif Dewan
Pers menjelaskan, bahwa kebebasan pers yang sangat longgar saat ini tidak hanya
menumbuhkan ratusan penerbit baru. Akan tetapi, juga menimbulkan kebebasan pers
yang anarkis. Kebebasan pers telah menghadirkan secara telanjang segala
keruwetan dan kekacauan. Publik bisa menjadi leluasa membaca dan menyaksikan
pola tingkah figur publik. Serta, hampir tidak ada lagi rahasia atau privasi.
Tabloid-tabloid yang sangat sarat berita dan foto pornografi sangat marak.
Judul-judulnya pun sensasional, menakutkan dan bahkan menggemparkan (scare
headline).
Bahkan, bukan hanya pers dalam dunia jurnalistik, konsumsi
publik lain -seperti film dan iklan- pun seringkali mengutamakan
substansi ‘menjual’-nya dari pada sisi manfaatnya bagi masyarakat. Dampak yang
ditimbulkan dapat dilihat mulai dari lifestyle anak muda yang berubah-ubah
sesuai trend yang berlaku sampai pembunuhan tidak terencana oleh anak dibawah
umur terhadap temannya setelah menonton tayangan Smack Down yang disiarkan oleh
salah satu stasiun televisi.
Jurnalisme Kemanusiaan sebagai solusinya
Jika ditelisik lebih lanjut, kebebasan pers bukanlah sesuatu
yang absolut dan dapat dilakukan secara liberal, melainkan sesuatu yang harus
disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakkan norma etika,
profesionalisme, dan supremasi hukum. (Wibowo, 2009). Hal ini dipertegas dalam
Bab II Pasal 2 undang-undang No. 40 tahun 1999: “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.
Konsep jurnalisme kemanusiaan merupakan rekomendasi terkuat
atas permasalahan dan ironi diatas. Mengacu kepada pengertian kemanusiaan itu
sendiri yakni, sebuah gerakan yang tujuannya adalah mempromosikan harkat,
martabat, dan nilai manusia. kemanusiaan menekankan harkat, peranan, dan
tanggung jawab manusia. Menurut paham kemanusiaan, manusia adalah makhluk yang
mempunyai kedudukan istimewa dan berkemampuan lebih dari makhluk-makhluk lain
di dunia karena bersifat rohani. (Mangunhardjana, 1997). Maka, Jurnalisme
kemanusiaan yang kiranya suitable
untuk ironi ini adalah kegiatan jurnalisme yang menjunjung tinggi harkat dan
peranan serta keinginan rakyat Indonesia yang ingin keluar dari segala
keterpurukan dan problema yang melanda. Membantu membentuk pola pikir
masyarakat dengan mencoba untuk selalu mempertimbangkan fakta yang diliput
secara adil, seimbang dan memperhatikan dampak yang ditimbulkannya.
Terlalu banyak artikel keburukan Indonesia akan
menjerumuskan masyarakat pada paradigma pesimisme kolektif terhadap bangsanya
sendiri. Harus diseimbangkan dengan membuat prestasi dan keunggulan bangsa
menjadi main topic dalam setiap
media. Memanusiakan manusia dengan mengapresiasi segala bentuk prestasi
merupakan salah satu cara yang ampuh untuk dapat memancing semangat nasionalis
masyarakat yang mulai memudar. Memunculkan sisi kemanusiaan dapat menjadi obat
bagi golongan penderita alergi media yang menganggap isinya hanya keterpurukan
bangsa belaka.
Mengutamakan berita positif bukan berarti mengada-ngada dan
menutup fakta-fakta negatif yang terjadi. Bukan pula berarti memangkas berita
kontroversial yang perlu dilihat publik sebagai sarana antisipasi masyarakat.
Hal yang perlu diperhatikan adalah selalu memerhatikan proporsi antara
keduanya, dan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan.
Kesimpulan dari premis-premis peliknya masalah indonesia
dapat diambil berdasarkan fakta yang terjadi. Apakah kesimpulan itu buruk atau
baik? Menginspirasi atau membuat depresi? Itu semua tergantung dari apa yang
mencuat dalam ranah publik. Sesuatu yang masyarakat lihat, sesuatu yang
masyarakat dengar, dan sesuatu yang masyarakat rasakan. Dan sesuatu itu menjadi
tanggung jawab pers sepenuhnya. Bentuk dari tanggung jawab itu dapat diwujudkan
dengan jurnalisme kemanusiaan. Memanusiakan manusia Indonesia yang ingin keluar
dari konstelasi keterpurukan negeri menuju suasana penuh semangat dan
optimistis Indonesia akan lebih baik lagi.
“I do not agree with what you have to say, but I’ll
defend to the death your right to say
it,” - Voltaire